Thursday, November 17, 2016

2 comments   |  

Ibu Pt. III: Anak dalam Kepitan Ketiak Ibu



Ibu belakangan jadi topik menarik ya di sini. Beberapa orang jadi penasaran dengan karakter Ibu saya yang sebenarnya. Tak sedikit pula yang mendoakannya cepat sembuh.

Kabar terakhir, Ibu baru selesai operasi. Tapi bukan operasi usus buntu seperti yang diceritakan postingan sebelumnya. Usus buntu adalah diagnosis pertama yang salah. Selanjutnya dia diduga punya kista. Tapi dokter masih belum yakin, sehingga dilakukan foto abdomen ulang, dan sejumlah USG. Diagnosis berikutnya bikin lebih ngeri. Kata hasil laboratorium, Ibu terkena Ileus Obstruktif. Sederhananya, ia adalah penyumbatan usus. Tapi risikonya parah. Bila tak ditangani dalam waktu 36 jam, maka kemungkinan meninggal bisa sampai 25-30 persen.

Padahal hasil lab terakhir itu keluar saat Ibu sudah diinapkan empat hari di rumah sakit. Saya sempat bikin gaduh di rumah sakit, karena penanganan mereka yang terlalu lama dan terkesan sepele. Tapi setelah Ibu dianjurkan CT Scan, barulah penyakit di perutnya mulai terang juntrungannya.

Ia rupanya memelihara tumor di rahim. Tak main-main ada tiga sekaligus. Satu di kanan, satu di kiri, dan lainnya di ujung rahim. Sehingga ia harus melalui dua kali operasi.

Operasi terakhir rampung Rabu lalu. Kini ia masih kepayahan jalan karena luka operasi yang belum kering. Oh ya, separuh indung rahim kirinya ikut dipotong karena tumor yang tumbuh di sana lebih berbahaya. Gara-gara ini, Ibu kemungkinan besar tidak akan menstruasi lagi di umurnya yang masih 46 tahun.

Dua bulan ini jelas adalah masa-masa paling sulit. Ibu adalah oli penggerak keluarganya. Kealpaannya karena sakit jelas membuat yang lain ikut tertatih-tatih. Saya sendiri lebih 10 hari berturut-turut tidak masuk kantor karena harus kena shift jaga Ibu.

Selain sakit di perutnya, Ibu juga punya diabetes yang cukup menyusahkan proses pengangkatan tumor. Angka gula darah yang terlalu tinggi akan membuat luka operasinya susah kering. Sehingga dua bulan ini, salah satu masa tersulit adalah ketika harus memantau turun naiknya gula darah Ibu.

Semua baik-baik saja, sampai beberapa jam sebelum operasi. Ibu sempat hampir mati justru bukan karena tumornya. Melainkan karena gula darahnya yang turun sampai angka 40.

"Nak, kayaknya ada yang enggak beres. Kaki Ibu kedinginan. Perut ini rasanya sudah kebas, seperti dibius. Panggilkan susternya, tolong, Nak," katanya pada saya waktu itu.

"Sebentar lagi, Buk. Kan sebentar lagi jam cek gula," bantah saya yang tolol ini. Waktu itu Ibu memang akan dicek angka gula darahnya sekali setiap jam. Saya malas mengingatkan kimplotan suster-suster galak itu. Soalnya, beberapa kali saya sudah adu mulut dengan beberapa di antara mereka karena pelayanan buruk dan sangat-sangat tidak ramah.

Ibu diam sejenak. Mungkin cuma sepuluh detik. Dia kembali bergumam sambil pegang tangan saya, "Tolong panggil, Nak. Ini enggak betul lagi."

Saya lantas lari, dan suster juga lari. Beberapa jam kemudian kami sibuk menyemangati Ibu yang sudah kelemasan dan banjir keringat. Para suster sibuk mengontrol angka gula darahnya. Ibu sempat limbung, sampai ngantuk berat dan seolah kesadarannya ditarik.

Hari itu benar-benar mengerikan untuk diingat. Perasaan gelisah karena takut kemungkinan-kemungkinan terburuk akan terjadi adalah mimpi buruk terburuk yang pernahada di hidup manusia. Gelisah karena takut ditinggal Ibu adalah perasaan paling menyiksa yang pernah saya rasakan.

Kini, penderitaannya memang berangsur-angsur menipis. Tapi, pindah di saat-saat begini sebenarnya tetap terasa tidak benar -- tidak tepat.

Rupanya, perasaan takut tak bisa mengurus Ibu saat dia butuhkan jauh lebih menyiksa. Penyiksaan itu semakin menjadi-jadi saat saya sadar kalau kelak, di seberang pulau, saat saya yang sakit, akan susah sekali untuk pulang dan berharap tangan hangat Ibu mengurut kening ini sambil membawel tentang pola hidup saya yang kacau.

Semalam, sambil memeluk saya di atas kasurnya, Ibu bilang, "Susah punya anak yang sudah dewasa. Rasanya ingin selalu dikepit di bawah ketiak, supaya tak jauh dari pandangan. Bisa dijaga, bisa dirawat. Tapi karena sudah dewasa, kepitan ketiak sudah enggak muat lagi. Artinya, Tuhan sudah suruh ikhlas."

Tapi rasanya mau terus-terusan dikepit Ibu. Di tempat paling nyaman di bumi ini: di bawah pantauan seorang Ibu. Di bawah kepitan ketiak Ibu.

Wednesday, November 16, 2016

  |   2 comments   |  

Kemas-kemas



Kalau ada yang bilang perjalanan itu dimulai dengan satu langkah kecil, mungkin dia keliru selama ini. Sebab, yang terjadi sebenarnya adalah, sebuah perjalanan selalu dimulai dengan kemas-kemas.

Sudah jadi sifat dasar manusia untuk merasa siap sebelum melakukan apa pun. Termasuk dan terutama, sebelum melakukan perjalanan. Itu sebabnya, kemas-kemas jadi salah satu tahap paling penting sebelum melakukannya.

Kemas-kemas bagi orang yang sering pindah macam saya, bukan lagi tentang seberapa banyak sempak yang akan diselipkan dalam koper atau berapa banyak uang tunai yang diselipkan dalam tiap kocek. Bagi orang yang terlampau sering pindah, bagaimana bentuk kamar barumu jauh lebih penting ketimbang berapa banyak koper yang akan dijinjing; menyusun perpisahan yang berkesan lebih penting ketimbang sibuk mencari-cari berkas administratif yang harus selalu dibawa setiap kali pindah.

Kalau kau sudah pernah pindah berkali-kali sampai kau sendiri bosan dan tak lagi menghitungnya, detail paling penting dari kemas-kemas adalah merapikan kenangan dan ancang-ancang mental.

***

Saya teringat pengalaman pertama kali naik pesawat sendiri, menyebrang provinsi, saat masih tiga belas atau empat belas. Saya khawatir. Tapi lebih banyak girangnya. Meski sadar kalau jakun belum tumbuh dan pipis belum lurus, tapi saya merasa dewasa betul waktu itu. Pasalnya, saya yang sebenarnya sering melakukan perjalanan jauh naik kapal laut, kapal udara, dan jalur darat sejak umur tiga tahun, akhirnya bisa merasakan perjalanan sendiri tanpa orang tua. Tanpa ada orang dewasa yang harus mempersiapkan ini-itu sebelum keberangkatan, atau bawel ini-itu selama perjalanan.

Perjalanan itu jadi tidak biasa bukan cuma karena saya melakukan semuanya sendiri, tapi juga karena saya merasa dipercaya untuk jadi dewasa oleh Ibu dan Ayah. Untuk remaja bau kencur yang minim pengalaman hidup, perasaan seperti itu rasanya luar biasa.

Lalu, perjalanan-perjalanan lainnya yang saya lakukan sendiri menyusul. Saya jadi terbiasa. Orang tua saya juga terbiasa. Girang yang muncul waktu itu lama-lama jadi asing. Saya tak pernah lagi merasakannya. Tak peduli seberapa kerennya tujuan perjalanan berikutnya. Terlalu sering melakukan perjalanan, nyatanya membuat saya mati rasa atas kegirangan yang mestinya selalu muncul sebelum melakukan perjalanan baru.

Saya yang sinis ini sepakat pada mereka yang memandang hidup sebagai sebuah perjalanan. Sepengalaman saya, hidup dua puluh dua tahun belakangan adalah tentang pindah dari satu tempat-ke tempat lain. Tentang membuat perjalanan setelah perjalanan lainnya.

Ini bukan berarti saya tak melihat adanya hal indah dalam sebuah perjalanan.

Bagi saya sendiri, ada tiga hal yang paling indah dalam tiap perjalanan: kemas-kemas, proses mencari rumah, dan kenangan.

Ketiganya adalah sebuah siklus yang akan selalu beriringan. Saat kemas-kemas, ada kenangan yang turut dikemas. Saat kemas-kemas ada pula ancang-ancang mental yang dilakukan untuk mempermulus proses mencari rumah. Dan dari proses mencari rumah, akan ada kenangan yang dibentuk, untuk kembali dikemas ketika siap melakukan perjalanan berikutnya.

Ketiganya adalah hal paling indah dari sebuah perjalanan. Karena bagi orang sentimental yang selalu merindukan kematian macam saya, yang bikin hidup ini sedikit bergairah adalah kenangan-kenangan yang dibikin saat menjalaninya.

Selama enam tahun terakhir, bisa dipastikan saya melalui banyak sekali perjalanan dan pindah. Dan di dalamya, tentu saja sudah tak terhitung kemas-kemas yang dilakukan. Yan menarik adalah, jumlah rumah yang ditinggali lalu ditinggalkan. Tapi yang paling menarik adalah jumlah rumah yang (akan) ditinggalkan namun akan tetap ditinggali.

Rumah yang dimaksud jelas bukan sekadar sepetak bangunan yang jadi tempat peraduan saat malam datang. Sebagian besar rumah yang ditinggalkan namun tetap ingin ditinggali ini rupanya berbentuk manusia: mereka yang selalu didatangi saat saya terbentur dengan hidup dan pernak-perniknya.

Dan bak segala hal yang selalu punya dua sisi, betapa indahnya kemas-kemas, ia juga punya sisi jelek. Saat kemas-kemas kita akan memilah-milah mana kenangan yang bisa dibawa, sekaligus bikin ancang-ancang untuk siap tak bertemu lagi mereka yang kemungkinan besar akan melalui jalan yang tak akan bersinggungan dengan jalan kita. Di sana, kemas-kemas akan terasa sangat sentimental.

Di sana, mengemas  perpisahan yang berkesan lebih penting ketimbang mengemas koper yang akan dijinjing.




P.S. Saat menulis ini, saya belum kemas sehelai sempak pun, belum beli Meranti dan Teri Medan untuk mereka yang menunggu di sana, bahkan belum beli tiket untuk kepergian besok. Yang sudah saya lakukan hanyalah bagian favorit dari kemas-kemas: bertemu mereka, rumah yang (akan) ditinggalkan namun akan tetap ditinggali, satu per satu.

Friday, September 30, 2016

4 comments   |  

Ibu (Pt. II)



Sekarang tepat pukul 4 pagi saat saya memulai tulisan ini. Satu artikel tentang kopi sudah selesai untuk dikirimkan ke editor, sebentar lagi. Semoga sudah bisa dinikmati nanti siang oleh pembaca. Seharusnya saya langsung saja mulai menulis artikel lainnya, yang proses penghimpunan datanya sudah selesai dua hari ini. Tapi sebaris pikiran malah mengarahkan saya untuk menulis ini di halaman kosong microsoft word.

Saya teringat dulu di sepotong pagi-pagi buta begini juga, waktu masih umur empat atau lima, Ibu masih belum lelah mendongeng. Biasanya, ia akan membangunkan saya sekitar pukul empat atau lima pagi, lalu menceritakan sebuah dongeng. Ini dilakukannya hanya saat ayah kena shift malam. Ia takut menunggu ayah pulang kerja sendirian. Jadilah aku dibangunkan untuk menemaninya.

Wajar sebenarnya. Dulu kami tinggal di Batam. Medio 1999, suasana Batam di pagi buta cukup mencekam. Perang saudara di Batam antara suku Batak dan Flores bikin gelisah semua orang. Aksi saling tebas pakai parang oleh mereka yang berkonflik jadi cerita pengantar tidur dan penyambut bangun. Sebab kami adalah perantauan dari Medan, tentu saja Ibu selalu berubah jadi penakut saat harus ditinggal suami sendiri dengan anak-anaknya. Saya anak paling besar, sekaligus yang paling suka dongeng. Mungkin itu alasan Ibu kenapa selalu membangunkan saya daripada Rara, adik saya.
Waktu itu anak Ibu memang masih dua.

Kalau diingat-ingat, ada banyak sekali dongeng yang diceritakan Ibu pada masa-masa itu. Sehingga kelak, pada satu titik di hidup ini, saya akan sadar kalau tak ada satu dongeng pun yang pertama kali saya dengar dari orang lain selain Ibu. Ini sungguh. Saya tak sadar  waktu itu, kalau Ibu memang ahli dongeng yang rupanya tahu Putri Kacang Polong, Klenting Kuning, Dracula, Van Helsing, Siluman Ular Putih, dan dongeng, legenda, serta mitos lainnya yang kebanyakan orang tak tahu. Tentu selain dongeng-dongeng awam macam Cinderella, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, Itik Buruk Rupa, Kuntilanak, Legenda Danau Toba, Legenda Candi Prambanan, dan lainnya. Atas pengalaman itu, saya sangat mencintai Ibu.

Tapi pengalaman itu tak lantas membuat saya dekat dengan Ibu ketika beranjak dewasa. Mungkin Ibu merasa dekat. Tapi saya tidak.

Mungkin Ibu merasa mengerti saya, tapi sejujurnya ada banyak sekali hal yang tak Ibu ketahui tentang saya. Itu yang membuat saya merasa tak dekat dengannya. Pun sejak kecil, saya adalah anak Ibu yang paling jarang tinggal bersamanya. Liburan pun lebih sering tinggal atau dibawa pergi jalan-jalan Andong, sebutan nenek dalam bahasa Melayu. Tiga tahun terakhir, saya juga sudah tak tinggal dengan Ibu. Untuk alasan akademis, dan... hhmm pilihan saya sendiri.

Ibu sebenarnya pernah bilang benci pada saya karena pilihan ini. “Dari kecil sama Andongnya, sudah besar ini juga tak bisa tinggal dengan Ibunya sendiri,” katanya suatu waktu, berapi-api.

Tapi Ibu tidak menyerah. Selama tiga tahun terakhir, setiap hari ia menelpon saya. Menanyakan empat pertanyaan wajib, dan beberapa pertanyaan sunah. Yang wajib: “Sudah makan?”, “Sudah salat? Pasti belum!”, “Tidak sakit kan?”, dan “Hari ini tidak jatuh dari motor kan?”. Pertanyaan sunahnya bisa apa saja. Tergantung situasi dan kondisi. Misalnya, “Kapan pulang?”, “Bisa bolos kerja nggak besok? Supaya bisa pulang ke rumah dulu.” Dan semacamnya.

Telepon terakhir dari Ibu berdering lima hari yang lalu. Telpon itu berbunyi setelah saya mengirimkan pesan singkat ke beliau terlebih dulu. Saya memang sedikit marah waktu itu, soalnya Rara baru saja curhat kalau dia sedang dimarahi. Saya marah pada Ibu karena saya tak ingin dia marah-marah, buang energi. Waktu itu saya tahu kalau dia sedang tidak dalam keadaan fit. Apa pun alasannya untuk marah pada Rara, sebaiknya diurungkan saja. “Pikirin yang baik-baik saja,” kata sepenggal kalimat saya dalam pesan singkat itu.



Tapi rupanya Ibu tak terima. Dia merasa saya membela Rara. Dan dia kecewa berat. Sambil memaki, dia mengakhiri sambungan telepon hari itu. Itu pertama kalinya Ibu kasar pada saya selama lima tahun terkahir. Saya juga terkejut. Mungkin karena sudah lama tidak dibentak Ibu. Ada kecewa yang juga menelusup di otak.

Saya menenangkan diri dengan berpikir kalau pertengkaran Ibu dan anak adalah hal wajar. Kami akan tetap jadi Ibu dan anak, kendati dihasut buzzer pencipta konflik antara Trump dan Hillary. Atau sebelumnya Prabowo dan Jokowi.

Tapi lima hari setelah itu hidup saya sepi dari deringan telepon Ibu. Rupanya dia benar-benar marah, itu asumsi saya. Awalnya saya tak acuh, sampai dapat pesan dari Rara kalau Ibu sakit, dua hari lalu. Tapi saya masih tak merendahkan diri untuk menghubunginya duluan. Ia juga begitu. Padahal saya tahu penyebab sakit Ibu. Dia memang seorang paranoia yang akan gampang depresi saat overthinking. Saya sedikit banyak yakin, penyebab Ibu sakit adalah karena kekecewaannya pada saya. Dan saya sedih karena itu. Sungguh.

Sampai tadi, saat telepon dari Rara masuk. Dia bilang Ibu masuk rumah sakit. Perutnya sakit, dan demam beberapa hari terakhir. Saya langsung pulang. Bersama banyak sekali perasaan bersalah dan cemas.

Riwayat sakit Ibu banyak. Penyakit kami mirip. Pneumonia, maag akut, diabetes adalah satu di antaranya. Tapi yang kali ini berbeda. Ibu divonis usus buntu. Besok dia akan operasi. Semalaman ini sudah lebih dari 9 kali jarinya diadu jarum untuk mengukur kadar gula darahnya. Kadar gula itu harus stabil sebelum dia dioperasi besok. Sejam sekali seorang dokter jaga akan masuk ke ruangan untuk mengeceknya.

Pagi-pagi buta begini, saat menemani Ibu terus-terusan mengaduh karena perutnya yang begah, saya teringat pagi-pagi dulu. Ketika ia mendongengkan cerita-cerita yang jadi pengantar tidur lelap saya.

Lekas sembuh, Bu.


Thursday, May 19, 2016

  |   No comments   |  

Hal yang Tak Mungkin Bisa Saya Lakukan Lagi di Hidup Ini

Sejak bisa mengingat, saya adalah seorang pelamun. Orang yang suka melamun.

Ya, pelamun. Bukan pengkhayal atau pemimpi. Karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terakhir, yang saya lakukan lebih tetap dimaknai sebagai melamun, bukan mengkhayal atau bermimpi. Dan pelamun, memang tidak ada di KBBI. Tapi kalau orang yang suka berkhayal disebut pengkhayal, dan orang yang suka bermimpi disebut pemimpi, maka mari menyebut seorang yang suka melamun sebagai seorang pelamun. Semoga kata ini ada di KBBI edisi terbaru yang segera akan terbit.

Harapan saya terhadap KBBI baru ini tentu saja tak sepesimis judul tulisan ini, yang kalau dirasa-rasa sangat dramatis, alih-alih depresi.

Tapi judul tersebut bukanlah dikarang-karang demi clickbaits (memangnya ini blog apaan huft), sebab sungguh tidak Anda saja yang merasa kalau judul ini mirip dengan judul-judul berita di media abal-abal. Ia saya ciptakan dari realita. Sebab, bukannya saya seorang pesimis, tapi memang ada hal-hal yang tak mungkin bisa saya lakukan lagi di hidup ini.

Mau tau apa saja? Simak, dan buktikan sendiri betapa tidak berlebihannya judul ini.

1. Nonton Konser Amy Winehouse secara langsung

Siapa tak kenal Amy Winehouse? Banyak! Untuk itu saya ilustrasikan wajahnya dengan senyum (asal tahu saja, Amy ini seniman yang jarang senyum) dan sumringah dengan kemeja merah muda (Amy biasanya tampil berantakan, dengan kostum sering kali hitam).



Tapi yang kenal juga pasti banyak sekali. Dia terkenal sebagai penyanyi jazz di era ini. Lagunya yang paling laku ialah Back to Black dan Valerie. Tapi dia lebih terkenal karena pernah masuk rehabilitasi akibat gaya hidupnya yang suka 'tinggi'.

Makin terkenal setelah dia mati di usia produktif, 27 tahun. Semua orang langsung bilang, kalau dia sangat keren, karena bisa masuk Club 27. Itu loh, sebuah klub rekaan teori konspirasi yang bilang kalau Kurt Cobain, Jimmy Hendrix, Janis Joplin, dan sejumlah artis kenamaan lainnya yang meninggal di usia 27, sedang duduk-duduk santai di surga khusus mereka. Itulah kenapa klub mereka disebut Club 27.

Anyway, sekarang sudah tahu kan kenapa saya tidak akan pernah bisa lagi menonton Konser Amy Winehouse seumur hidup saya? Ya, tepat! Amy sudah koit. Sebelum saya mampu menafkahi diri sendiri untuk bisa membeli tiket konsernya. Padahal, saya sangat senang dengan genre musik, gaya bernyanyi, dan lirik-lirik lagunya. Amy adalah salah satu penyanyi yang paling sering saya dengarkan saat SMP sampai SMA.

2. Jadi bintang tamu Oprah di The Oprah Winfrey Show

Saya sangat jarang nangis. Oke, saya bohong. Tapi yang coba saya sampaikan adalah, saya sangat-sangat ingat kapan saja saya nangis sampai kesulitan sendiri untuk memberhentikan tangis itu. Ya, hal-hal memalukan atau mungkin diperlukan begitu memang terjadi di hidup. Seingat saya, tak banyak tangis yang seperti itu terjadi. Jaraknya pasti jauh-jauh.

Dan salah satu yang paling saya ingat adalah tangis pada 26 Mei 2011. Hari itu adalah episode terakhir The Oprah Winfrey Show. Well, secara teknis di Amerika Serikat masih tanggal 25 Mei sih. Tahun itu, acaranya Oprah itu memasuki musim ke-25. Bukan! Kalau ada yang menebak saya menangis karena pupusnya harapan saya bisa jadi bintang tamu di acara itu, maka "bukan" adalah jawabannya. Saya menangis karena acara-paling-keren-sedunia-sejak-dunia-ada-sampai-sekarang itu sudah habis. Dan tidak akan pernah ada lagi. Selama-lama... mengetik ini saja membuat saya teringat sedihnya waktu itu.

Oprah bagi saya, dan saya yakin bagi banyak sekali orang di Bumi, adalah semacam nabi di zaman ini.

Selama saya menonton acara itu, Oprah selalu menunjukkan pelajaran penting untuk manusia, bahwa: (1) manusia adalah manusia, tak terkategorikan oleh hal sekecil apa pun (2) yang terpenting selama hidup adalah untuk mencapai kedamaian.

Cara Oprah untuk berdampak terhadap dunia ini benar-benar memengaruhi saya. Bahwa menolong orang lain adalah pekerjaan paling membahagiakan, serupa dengan membuat orang lain bahagia. Dan dia menunjukkannya dengan banyak sekali cara. Bagi yang belum pernah menonton acaranya, maka tontonlah. Ada di Youtube, ataupun dijual dalam bentuk DVD.

Sampai sekarang, saya belum punya rekomendasi acara yang bisa menggantikan The Oprah Winfrey Show. Tapi Ellen DeGeneres punya tujuan mulia serupa melalui acaranya. Dan dia juga semacam nabi bagi saya pribadi. Ellen mengubah dunia dengan cara positif sekali ke arah yang juga positif sekali.

3. Ini yang paling membuat saya sedih, alih-alih menderita

Tuhan menciptakan satu-satunya hal yang bisa jadi anugerah sekaligus kutukan di dunia ini. Satu-satunya hal yang bisa menyebabkan perang sekaligus meredakannya. Satu-satunya hal yang bisa bikin manusia sakit sekaligus jadi penawarnya. Hal itu dinamakan cinta, dalam bahasa Indonesia, dan nama lainnya dalam ragam bahasa sedunia.

Salah satu hal yang tak mungkin lagi bisa saya lakukan di dunia ini, dan saya menderita karenanya adalah, menaikkan haji Andong dan Atok.

Andong dan Atok adalah sebutan Nenek dan Kakek dalam bahasa Melayu. Mereka berdua ini adalah orang yang paling saya cintai dan hormati di dunia ini. Bahkan dulu, saat saya masih muda sekali, mulut durhaka ini pernah bilang begini ke Ibu kandung saya, "Rasanya Andong adalah orang yang paling Adam sayang di dunia ini... Lebih daripada sayang ke Ibu."

Saat mengucapkan itu, respon Ibu hanyalah diam saja. Tapi belakangan jauh hari setelah itu, saya baru tahu kalau Ibu menyimpan sakit atas kata-kata saya. Tahunya pun dari adik saya, bukan Ibu sendiri.

Saya tidak menyesal mengatakannya. Sebab begitulah yang memang saya rasa. Tapi saya keliru tentang satu hal. Bahwa Andong memang orang yang paling saya sayang, pun begitu dengan Ibu. Belakangan saya sadar kalau posisi Ibu dan Andong selalu sama di hati saya. Mereka yang paling puncak. Selalu begitu, sejak dulu.

Kedekatan saya dengan Andong dan Atok tentu punya alasannya sendiri. Sebagai cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama, Andong dan Atok yang merupakan muslim taat, tak tahu secara sadar atau tidak, memperlakukan saya seperti cucu kesayangan. Sehingga saya lebih sering tinggal bersama Andong dan Atok ketimbang orangtua sendiri, sedari kecil sampai tamat SD. Padahal cucu mereka banyak sekali. Waktu itu ada 17 orang, dan berakhir di angka 23 sampai sekarang.

Diam-diam saya berniat menaikkan haji keduanya, kelak saat saya punya kesempatan untuk itu. Sebab, sebelum keduanya pergi... damai bersama Ilahi, yang paling mereka inginkan adalah melengkapi rukun Islam, agama yang mereka pegang teguh semasa hidup.

Maka, dua tangis-menjadi-jadi lainnya yang paling saya ingat adalah saat saya mencium pipi dan kening Andong dan Atok yang sudah dikafani. Andong meninggal pada puasa terakhir di tahun 2004, sementara Atok meninggal masih dalam suasana lebaran tahun 2014.

_________________________________________________________________________________

Omong-omong. Saya pernah terpikir, kalau bisa memilih sendiri mati di usia ke berapa adalah sebuah kemewahan yang akan sangat saya syukuri. Tapi karena tak pernah bisa berdialog dua arah dengan Tuhan, maka sejak remaja saya diam-diam berdoa agar mati di usia 36. Entah kenapa. Hanya menebak kalau semua keinginan saya sudah tergenapi di usia segitu.

Nah, karena saya ini adalah orang yang sangat terobsesi (kalau boleh dibahasakan begitu) dengan kematian, maka saya tak terlalu antusias dengan hidup. Dalam rangka menyemarakkan hidup saya sambil menunggu-nunggu datangnya kematian, maka secara rahasia, saya membuat sebuah daftar tentang hal-hal yang ingin saya lakukan sebelum mati. Daftar itu masih rahasia. Tapi yang bisa saya bilang, sebagian dari daftar itu sudah dicentang. Sebagian besarnya belum terwujud tapi masih besar kemungkinannya untuk diwujudkan, tapi yang tidak saya sangka, ada sebagian yang sudah tidak bisa diwujudkan lagi. Misalnya, tiga hal di atas.

Wednesday, April 20, 2016

  |   No comments   |  

Sandra: Si Idealis Sekaligus Realis


Saya ketemu Sandra Cattelya di organisasi kampus yang kami cintai, Pers Mahasiswa SUARA USU. Well, Sandra sebenarnya adalah senior saya. Dia mahasiswa stambuk 2008, sementara saya mahasiswa baru di tahun itu, 2011 silam. Tapi, karena satu dan lain hal, saya memanggilnya dengan nama depan saja, tanpa embel-embel kakak atau bahkan mahadewi. If You know what I mean. Yeah, organisasi kami memang keren. Hierarki ada, tapi secara profesional. Bukan personal.

Talking about personal, sebenarnya saya dan Sandra bukan teman yang terlalu dekat. Bisa jadi kami berkabar-kabaran hanya sekali setahun. Bahkan, setelah 2012, setelah Sandra selesaikan skripsinya dan balik ke kampung halaman, kami enggak pernah ketemu lagi. Terakhir telponan saja waktu saya jadi Pemred di organisasi itu, awal 2014 lalu. Sisanya cuma tegur sapa lewat messenger atau diskusi di grup SUARA USU di Line. Ah ya, Sandra yang baik hati juga pernah kirim semua koleksi e-book-nya ke email saya, yang pastinya belum saya selesaikan. Tapi secara personal, Sandra adalah salah satu influence-person bagi saya dalam berorganisasi pada masanya.

Pola pikir serta tingkah polahnya cukup mempengaruhi saya dalam bersikap saat berorganisasi. Bagi cecunguk introvert yang baru coba-coba berorganisasi macam saya di 2011 silam lalu, sosok macam Sandra sangat bisa jadi patokan karakter. Well, kalau disuruh mendeskripsikan Sandra dalam satu frasa, saya akan memilih idealis sekaligus realis. Dua hal yang secara konsep bertentangan, tapi bisa terejawantahkan dalam satu wujud.
Anyway, wawancara ini sebenarnya dilakukan tahun lalu. Tapi saya yang kurang ajar ini baru bisa mengunggahnya hari ini. Silakan menikmati salah satu wawancara favorit saya.



She doesnt like pink, arent you, San? Lol But you love purple hair, right?


Who are you? Tell us who you are in your view.
The question is in English, but I’ll stick to answering in Indonesian because ngomong Indonesia aja saya masi belepotan. Nama saya Sandra Cattelya. Saya adalah jenis orang yang suka bingung kapan harus ngomong pake aku-kamu, gue-elu, saya-kamu, atau aku-kau. Hal ini dikarenakan saya lahir dan besar di Cilegon-Banten di mana orang-orangnya Jakarta-sentris dan ngomongnya persis anak Betawi pinggiran, pake gue-elu. Terus saya SMA di Bandung di mana saya sering ngomong pake aku-kamu karena menyesuaikan dengan atmosfernya yang lembut dan selow. Terus saya lanjut kuliah di Medan di mana saya keliatan aneh banget kalau gak beradaptasi untuk ngomong pake aku-kau. Intinya… gak tau apa. Pokoknya saya jadi sering ngerasa harus nyetel ke gaya bahasa tertentu setiap saya ketemu orang dari friend circle yang beda. Ah, pelik. Ini saya ditanya apa, jawabnya apaan kali. Maaf yah, Dam. Sebenernya paling bingung dah kalau ditanya pertanyaan semacam ‘About Me’ begini. Lanjut ajalah yah ke pertanyaan selanjutnya.

Where did you grow up?
Aslinya sih saya lahir dan besar di Cilegon-Banten. Kenapa mesti ada embel-embel ‘Banten’-nya? Karena saya enggak yakin orang bakal tau di mana tuh Cilegon kalau saya enggak langsung sebut ‘Banten’-nya. Itu kota kecil yang penuh polusi dari beragam industri pinggiran pantai. Dari lahir sampai SMP saya di sana. Tapi, saya ngerasa bener-bener ‘bertumbuh’ waktu saya kuliah di Medan dan bergabung ke suatu organisasi yang bakal saya jelasin di pertanyaan ke-sepuluh *udah ngintip daftar pertanyaannya hehe*

What are you doing now? Tell us your late work
Saya sekarang sedang bertindak sebagai full-time daughter, karena bokap sakit dan saya sehari-hari ngejagain dia. Karena keterbatasan bokap sekarang, gak memungkinkan buat saya untuk kerja di luar rumah di mana saya harus menyediakan komitmen waktu dan tenaga, sementara bokap butuh saya sewaktu-waktu dan enggak menentu. Makanya saya freelance sebagai translator, transcriptionist, dan saya juga nulis-nulis artikel gitu untuk sebuah situs. In between all of that, untuk mengisi waktu luang, saya ikutan paduan suara di gereja, banyakin baca buku, nge-blog, dan baru-baru ini saya mulai bikin video-video (yang sungguh amatir, karena apalah saya ini) dan saya upload di Youtube. I just try to make the most of my time, by doing something I can truly enjoy.

What does a typical workday for you look like?
Sebagai freelance translator, saya sekarang seringnya mengerjakan proyek untuk satu perusahaan tertentu, sebut saja Perusahaan N. Dan mereka menerapkan deadline ketat yang membikin saya sering enggak tidur untuk nyelesein kerjaannya. Jadi, my typical workday, when I do get something to work on, is like that. Bertapa seharian di depan laptop, pake baju yang senyaman mungkin, minum air putih banyak-banyak, begadang sampe tengkuk sakit banget, kalau kerjaan udah kelar, saya bakal hibernasi seharian. Sebagai penulis artikel, biasanya saya ngerjain tulisan di akhir minggu dan satu artikel paling lama banget selesai dalam waktu 4 jam. Jadi, gak terlalu memberatkan dan masih bisa dinikmati. Tapi, all in all, saya gak punya tyical workday sih sebenernya, karena saya freelance dan kerjaan datang gak menentu kapan, gak menentu apaan, gak menentu juga deadline-nya.

What label sticks to you?
Saya bakal ngelewatin cincong tentang ‘Ini mah penilaian orang lain dong, jangan tanya saya.’ Tapi, karena emang udah ditanya, sebagai mantan calon siswa teladan, saya bakal jawab. Saya sih ngerasanya orang-orang sering ngeliat saya sebagai orang yang people person gitu. Yang gampang gaul sama orang baru, orang yang gimana aja, easy going. Padahal mah beneran deh saya gak ngerasa kayak gitu. Justru saya seringnya ngerasa canggung dan suka salah tingkah sama orang baru, bahkan sama orang bukan baru sekali pun. Dan label-label yang lain, kalo ada, saya enggak tau. Menurut saya sih orang bisa ngelabelin orang lain tergantung dari apa yang mereka liat, apa yang mereka tau, dan apa yang mereka asumsikan. Jadi, kalo saya sih cenderung gak terlalu mikirin apa yang orang pikir tentang saya, baik tentang hal baik atau buruk. Mereka cuma liat saya dari satu sisi, sedangkan sisi yang lain left unseen. Maybe because I don’t want certain people to see all my sides, maybe certain people just choose what they want to see in me and ignore the rest. So, label is not important to me.

What is the hardest stuff in life so far?
Being strong.

What is your dream job?
By ‘dream’, I guess you mean something that probably won’t ever happen, right?

Bisa jadi
Dari dulu selalu pengin jadi dubber di film-film animasi Disney, pengin bisa kerja bareng Oprah Winfrey, pengin bisa hidup dari nulis. Mungkin yang lebih saya kejar sekarang dan paling realistis itu opsi ke-tiga. Itu pun rasanya masih jauh banget. Yah, namanya juga mimpi. Mimpi jangan ditaro setinggi langit. Taro setinggi langit-langit, biar masih memungkinkan untuk dicapai. Kecuali mau jadi astronot sih.

You love reading. What book you read?
Ah, sotoy nih, Adam. Untung aja bener. Iya, saya suka baca. Kadang ada waktu di saat saya ngerasa reading is breathing. Dan kalo saya lagi di fase begitu, ke mana-mana bukunya gak lepas dari tangan saya. Kalo lagi dalem banget masuk ke bukunya, bisa lupa makan, mandi, dan segala tugas lain jadi ketemu aja alesan untuk gak dikerjain dulu. Buku-buku yang saya baca beragam sih, dan selera saya juga berubah-ubah (sesuai umur kali yah).  Sekarang sih saya lagi menikmati banget buku-buku misteri, thriller, dan fantasi. Dan lagi sangat menikmati buku-buku Bahasa Inggris. Tapi sebenernya buku yang saya baca variatif banget banget kok. Saya bisa dibilang welcome untuk hampir semua genre. Yang sampai sekarang enggak menarik perhatian saya cuma fan fiction.

What is you hate the most from Indonesia?
Keep in mind, everything is yin and yang. There are always the good and bad sides of everything. And… saya baru aja ngapus satu paragraf tentang yang saya gak suka tentang Indonesia. Akhirnya memutuskan enggak ngejawab deh, karena dengan ngejawab, saya ngerasa energi negatif mulai ngerayap di sekitar saya. Don’t spread negativity. Have a positive vibe. That’s kinda my motto.

Tell us about SUARA USU.
SUARA USU adalah tempat saya mulai melihat dan menyikapi dunia dengan cara yang benar-benar berbeda. Bukan berarti saya gak suka sama diri saya sendiri sebelum masuk SUARA USU, tapi saya ngerasa jadi lebih kebentuk, lebih jadi orang, lebih punya pegangan, lebih tahan banting, setelah ngelewatin proses masa bakti di SUARA USU. Itu bukan sekadar tempat di mana mahasiswa yang sok keren jual-jual tabloid dan nulis berita tentang kampus USU. Orang luar mungkin gak akan ngerti esensialnya organisasi ini buat anggota-anggotanya. Bahkan, beberapa anggota di dalamnya juga belum tentu ngerti esensi SUARA USU untuk dirinya sendiri. Semuanya baru terasa setelah proses dilakukan sampai akhir. Sampai masa bakti selesai. Sampai misi selesai. Saya masuk SUARA USU di Agustus 2009 sore yang berangin. Dari awal, tujuan saya adalah pengin tau sebanyak-banyaknya dunia jurnalistik. Pengin belajar banyak hal lain. Emang saya orangnya kurang neko-neko. Saya pertama kali ngelamar jadi Staf Perusahaan karena orang yang waktu itu saya tanyain informasi magang adalah Pemimpin Perusahaan di kala itu. Betapa licik dia, saya diarahkan jadi bawahannya. Bilangnya kalau gak cocok, boleh pindah semau hati, ternyata gak gitu kenyataannya.

Tapi saat prosesnya, saya mensyukuri benar-benar keputusan asal-asalan saya masuk sebagai bagian non-Redaksi. Karena dari awal saya memang pengin tau dunia jurnalistik, walaupun saya ditugaskan khusus di bagian Perusahaan, saya tetap haus untuk nyoba nulis dan liputan, karena itu tujuan utama saya awalnya. Seiring bertambahnya beban tanggung jawab di Perusahaan, saya jadi sadar bahwa saya juga harus menjadikan Perusahaan sebagai tujuan utama saya, di samping passion belajar jurnalistik itu. Dari situ saya jadi belajar hal-hal yang lebih luas lagi yang enggak akan saya pelajari kalo saya enggak terpaksa ada di posisi itu. Memang, banyak kendala yang bikin rambut rontok-rontok. Selain harus bertanggung jawab di bagian sendiri, saya gak mau serta merta meninggalkan kesempatan belajar tentang bagian lain. Saya mahasiswa yang haus dan rakus. Dan di saat sibuk-sibuknya itu saya diopname di rumah sakit untuk pertama kalinya dalam hidup saya, gara-gara kecapekan dan kurang minum. Buset. Tapi karena emang saya orangnya positif banget, saya nyikapin semua itu dengan nikmat. Bersyukur bisa punya banyak kegiatan. Bersyukur punya jadwal padat, bahkan sampe numpuk-numpuk kegiatannya. Bersyukur bisa punya pengalaman yang enggak semua mahasiswa biasa ngalamin. Bersyukur tau ini itu. Bersyukur bisa kenal orang ini orang itu. Bersyukur sekali atas keputusan saya bergabung dan mendedikasikan jiwa raga buat SUARA USU selama 3,5 tahun saya di sana. Bukan, bukan hasil yang saya banggakan. Bukan bagusnya kualitas tabloid atau banyaknya pemasukan atau apa. Tapi proses banting tulang yang penuh susah, penuh amarah, penuh tawa, penuh kebingungan, penuh air mata, penuh ego, penuh drama mahasiswa… semua yang saya lewati bersama orang-orang di dalamnyalah yang membuat saya menjadi saya yang sekarang.

Well, Thank you for sharing, San!




Kalian bisa mengunjungi Sandra di kanal Youtubenya sendiri, untuk bisa mengikuti buku-buku yang di-reviewnya. Klik di sini ya: Kanal Sandra.

Saturday, April 9, 2016

  |   No comments   |  

Pindah





Tepat tiga minggu lalu, saya pindah. Kali ini dari rumah kontrakan yang untuk pertama kalinya saya biayai dengan duit sendiri. Tentu saja rumah itu tidak saya tempati sekaligus sewa sendiri. Rumahnya sangat besar. Dua lantai, tiga kamar, dua kamar mandi, bertempat di sebuah komplek elit, lengkap dengan fasilitas sekuriti dan kolam renang. Harga sewanya setahun saja, Ya Rasul, sampai 7 digit angka nol-nya. Mana mungkin, saya yang masih mahasiswa cum penulis lepas pada waktu itu mampu mengakomodir kebutuhan papan seperti itu. Saya menyewanya dengan tiga teman lain, yang ada baiknya saya ceritakan di lain postingan saja.

Kenapa saya sebut "kali ini"? Sebab, sebenarnya Pindah adalah hal yang paling sering saya alami di hidup ini selain patah hati.

Sebelumnya, Pindah-pindah yang saya hadapi adalah pindah-pindah yang dibiayai dan disebabkan oleh Ayah dan Ibu saya, saya singkat jadi orangtua saya. Ayah sudah pernah pindah pekerjaan berkali-kali, yang akhirnya juga menyebabkan saya pindah rumah sekaligus pindah sekolah berkali-kali pula. Bayangkan saja, saat SD saja saya sudah pernah mencicipi 4 sekolah yang berbeda. Saya belum menghitung, berapa kali pindah rumah yang kami lakukan. Jadi, saya pikir saya adalah orang yang paling mengerti apa artinya pindah.

Pindah bagi sebagian orang, yang baru melakukannya sekali atau dua kali, mungkin adalah hal yang menyenangkan atau bisa jadi menakutkan. Biasanya tergantung alasannya. Kalau kamu harus pindah karena dapat 'surat ajaib' dari universitas favoritmu, let's say Harvard atau IKJ, yang bilang kalau kamu diterima beasiswa di sana, pasti kamu dengan senang hati akan pindah. Tapi bagi mereka yang punya lingkungan nyaman,  teman-teman baik dan tetangga yang seperti keluarga sendiri, atau Ibu tunggal yang terpaksa harus merawat dirinya sendiri di rumah jikalau kamu pergi merantau, pasti akan dilema setengah mati tentang Pindah pertamanya.

Itu wajar. Dulu, saat saya harus menghadapi Pindah pertama saya, dilema itu juga terjadi.

Saya pernah sangat bergairah saat tahu orangtua saya berencana kembali ke Medan dari perantauan di Batam. Saya tak sedih harus meninggalkan teman-teman sekolah saya waktu itu. Di tahun yang sama, saya sampai harus pindah sekolah dua kali karena rumah kami yang juga berpindah. Di tahun berikutnya, perasaan aneh itu baru muncul. Saat tahu saya akan pindah untuk ketiga kalinya, saya mulai sedih dan sadar kalau ada yang salah dengan 'Pindah'. Tapi saat itu saya belum bisa mendefinisakannya, yang saya tahu saya sangat sedih karena harus berpisah dengan teman-teman masa itu. Teman-teman yang saya tangisi dua malam berturut-turut saat sudah pindah di rumah baru. Teman-teman yang saya masih hafal namanya, tapi sudah tak pernah saya temui sekali pun sejak saat itu.

Bahkan karena pengalaman Pindah yang terlalu sering ini, saya sempat menghubungkannya dengan sikap introvert yang tumbuh di dalam diri saya. Saya sempat berpikir bahwa alasan kenapa saya jadi pribadi yang terlalu tertutup dan sulit membaur, bahkan parahnya susah bernapas di keramaian, adalah karena saya sudah terlalu sering Pindah.

Sejak kecil saya nomaden. Sehingga pada akhirnya, diri ini membiasakan diri untuk tidak perlu repot-repot beradaptasi karena dalam waktu relatif singkat akan menghadapi pengalaman Pindah lainnya.

Semua itu mungkin saja ada sangkut-pautnya. Tapi, sekarang saya sudah tidak peduli. Lahir batin, diri ini sudah terbiasa dengan Pindah. Kami jadi akrab. Bukan dengan Pindah, tapi dengan perasaan yang muncul karenanya.

Tapi, bukan arti Pindah yang membuat batin saya gundah saat ini. Melainkan, apa sebenarnya Rumah itu?

Rumah yang pernah saya tinggali memang masih terhitung jari. Tapi, setelah merisetnya ke sejumlah teman dekat, saya masih orang peringkat pertama yang punya pengalaman Pindah terbanyak. Sehingga di umur yang baru sampai di awal-awal kepala dua ini, saya sudah mengantungi jumlah alamat yang banyak sekali dan berganti-ganti.

Jujur saja, pengalaman Pindah yang terlalu banyak jadi membuat saya bingung yang manakah Rumah saya? Apakah Rumah ialah bangunan yang sekarang ditinggali orangtua saya? Ataukah kontrakan baru yang sekarang saya tinggali? Tapi bukahkah, rumah orangtua saya adalah Rumah mereka? Dan kontrakan ini... well, saya juga tahu diri kalau akan segera pindah lagi dari sini... Oh! Mungkin Rumah adalah tempat yang akan saya tinggali di masa depan. Bangunan yang nantinya akan saya cicil sendiri dari gaji pribadi.

Tapi, kalau Rumah memanglah bangunan itu, yang sekarang letaknya saja saya tak tahu, lantas ke mana saya harus Pulang sekarang? (Saat tubuh ini rasanya perlu pelukan, mulut butuh didengarkan, dan batin perlu dininabobokan)




_______
 Tulisan ini saya colong dari jurnal pribadi October

Monday, February 15, 2016

No comments   |  

Nukilan Paling Menyakitkan di Blog Ini




Kau datang.

Tersenyum. Padaku. Dengan tampang... canggung.

Kau bilang, jangan tatap aku begitu... Lututku lemas, jantungku degap-degup kelewat kencang, rasanya dadaku remuk dibikin degupannya.

Aku heran.

Padahal aku hanya memandang biasa. Belum ada rasa.

Kau bilang cinta.

Lalu, aku yang mulai gelagapan. Selain heran, ada keran baru yang terbuka pada perasaan. Ada rasa itu... yang sungguh membingungkan. Sebab saat itu aku sedang kasamaran, tapi kau malah nyatakan perasaan, untuk kita bisa punya sebuah hubungan.

Aku ragu... tapi pada akhirnya takhluk, dan mau.

Kita adalah pertama bagi keduanya.

Sebuah rasa yang bila dinikmati secara saksama, kelak akan sungguh sulit dilupa, mungkin saat kita tak lagi bersama. Tapi sungguh, ia adalah rasa yang pasti akan sulit dilupa, namun terlalu berharga untuk tidak dirasa, sebab kita adalah pertama bagi keduanya.

Waktu berjalan, tapi bersamamu ia terasa pelan.

Pelan yang mengasyikan.

Kau mabuk. Aku mabuk. Kita mabuk... kepayang.

Tapi kita berdua muda. Dan (akhirnya) terjebak dalam masalah-masalah yang dihadapi mereka yang muda. Kau bosan. Aku muak. Meski di awal tak ada yang yakin dengan dua spektrum berbeda tapi mirip itu.

Kita pisah. Bukan lagi kekasih. Bersi keras kalau kita adalah sahabat.

Rupa-rupanya waktu masih berjalan lambat.

Bagiku, ini bagian paling berat. Sebab waktu merangkak begitu lamat-lamat. Membuat tiap detiknya terasa seperti tusukan paku berkarat, pada kedua telapak kaki yang bertelanjang bulat.

Tapi, kurasa, aku hanya ingin bilang, "I've just had enough!"